Masker: Inilah atribut yang paling penting dan terkenal sekarang ini. Kiranya belum pernah ada masa lalu di mana masker dikenakan oleh hampir seantero manusia di dunia. Demi melawan pandemi covid-19, mengenakan masker menjadi sebuah norma baru.
Di masa pandemi korona ini sungguh nyata bahwa masker menjadi atribut yang begitu penting dan bermanfaat bagi manusia. Lama kelamaan masker pun menjadi lebih modis, karena desain bentuk dan warna yang lebih manis atau menarik, disertai logo atau slogan. Facemaskselfie pun jadi populer.
Masker, Topeng, Kedok, Pribadi. Menurut KBBI versi daring, kata ‘masker’ diartikan sebagai 1) alat untuk menutup muka; topeng; 2) kain penutup mulut dan hidung (seperti yang dipakai oleh dokter, perawat di rumah sakit). Dan dalam Bahasa Indonesia sinonim lain untuk kata ‘masker’ ialah topeng, kedok, penutup muka, pelindung muka.
Menarik bahwa ketika kata masker dalam bahasa Indonesia coba diterjemahkan ke bahasa Latin atau bahasa-bahasa Neo-Latin, didapatkan alternatif sinonim yang menarik, yaitu kata persona. Kata Latin persona atau pribadi dalam bahasa Indonesia, merupakan terjemahan dari bahasa Yunani prόsopon atau hypόstasis. Istilah terakhir ini lebih teknis, diartikan sebagai sesuatu yang menopang realitas, fundasi dasar dari sebuah realitas yang tampak atau kelihatan.
Pribadi di Balik Topeng. Dalam dunia teater Yunani Kuno, istilah prόsopon menunjuk topeng wajah yang dikenakan seorang aktor untuk menampilkan figur tertentu. Orang yang mengenakan topeng dalam drama atau teater tahu bahwa ia bukan figur yang sedang ia perankan. Namun ia sekarang sedang memainkan peran itu di hadapan publik. Dan peran itu harus dimainkan dengan baik agar ia seolah-olah menghadirkan persona lain.
Cukup menarik jika dilihat bahwa kata ‘masker’ rupanya memiliki sangkut paut dengan pemaknaan pribadi atau diri manusia, sekurang-kurangnya dari segi etimologis. Orang yang mengenakan topeng teater sedang berupaya menampilkan persona lain, tentu untuk sebuah panggung hiburan. Dalam hal ini, apa pun bentuk masker atau topeng, itu hanya sebuah kedok hiburan, bukan diri yang asli.
Masker Bukan yang Terutama. Sekarang, di masa pandemi ini, mengenakan atribut masker mengandung tekanan makna dan tujuan yang baru, dan yang tentu lebih relevan dengan konteks. Kita tidak sedang bermain teater. Justru pentingnya masker di masa wabah korona ini, memberi makna yang sesungguhnya tentang apa arti menjadi persona atau pribadi.
Karena wabah korona ini, norma mengenakan masker adalah bentuk disiplin diri; suatu norma pertisipasi-ku dalam hidup sosial. Suatu bentuk tanggung jawab-ku bagi sesama di sekitar. Suatu ungkapan penghargaan pada kehidupan sesama.
Sekarang ini menjadi jelas bahwa masker bukan sekedar kedok atau topeng. Jadi, krisis korona yang mengharuskan kita mengenakan masker ini justru sebuah penegasan bahwa ‘menjadi diri sendiri’ itu berbeda dengan prinsip ‘semau saya’ atau ‘terserah saya’. Krisis ini menguji apakah kebebasan pribadiku mirip dengan egoisme saja atau sudah sungguh disertai rasa tanggung jawab.
Masker tetap lah sebuah masker, seindah apa pun bentuknya. Sebab nilai keutamaan terletak pada persona yang mengenakan masker itu. Masker dan topeng itu atribut, dan atribut tidak menentukan pribadi. Sebaliknya: pribadi harus terbentuk secara matang sebelum tampil keluar.
Teguran Ibu Bumi. Pada krisis korona ini bumi seakan-akan sedang berkata kepada manusia: kalian sudah terlalu lama suka ikut ramai, mudah ikut sensasi, suka tenggelam dalam kerumunan, tetapi kurang serius menjadi diri sendiri; sudah terlalu lama kalian suka ikut arus, kurang menjadi diri yang asli. Sekarang saatnya kamu kembali belajar menjadi diri yang lebih baik.
Kata Ibu Bumi: Sudah terlalu lama anak manusia ikut ramai eksploitasi alam, suka cari trend produk dan makanan, suka meniru meski palsu, katanya takut ketinggalan mode. Lalu prinsip menjadi diri sendiri pun dimaknai secara banal: ketinggalan zaman, tidak gaul, kurang modis…dst.
Edukasi Diri. Di masa krisis korona ini, masker adalah sebuah bentuk edukasi bumi kepada manusia. Secara wajar kita tidak mau berlama-lama menutup wajah dengan masker: melelahkan. Kita merasa gerah di balik masker. Dan memang benar, proses menjadi diri itu kadang membuat kita gerah.
Tetapi sekarang hal ini menjadi norma baru. Kita perlu mengenakan masker agar belajar sedikit berkata-kata dan lebih banyak mendengarkan.
Ketika mulut kita tertutup masker, kita belajar bahwa hening adalah cara efektif untuk menemukan diri agar tidak mudah tenggelam dalam kerumunan, termasuk dalam keramaian media sosial. Masker adalah indikasi bahwa manusia perlu lebih sering berbicara pada diri, masuk dalam ruang diri.
Dan hal yang terakhir ini juga bagian penting sebagai proses menjadi diri sendiri: Di balik masker, kita merasakan aroma napas kita sendiri. Ini sebuah auto-edukasi kesehatan badani. Orang menjadi lebih paham bahwa napas yang tak segar itu indikasi tubuh yang kurang sehat. Dan napas tak segar itu kurang elok untuk kerumunan. Use mask, and be yourself. Cuci tangan dan tetap jaga jarak.
*Terima kasih Pater,, semoga sehat selalu. ???
Terimakasih tulisannya
Merefleksikan penggunaan Masker….
Terima kasih Pater….
Terima kasih Pater.
Refleksi Rohani dan Jasmani.
Terimakasih ama pater atas pencerahan yg luar biasa..??????
Terimakasih Pater Andre, betul sekali di balik pemakaian masker secara jasmani ada nilai lain yg lebih mendalam yg harus digali terus menerus dgn kedisiplinan diri.
Terimakasih tulisannya memberikan inspirasi dan pemahaman baru dalam refleksi ttg zaman ini.
Terimakasih pater, menarik tulisan ini. Mengingatkan akan pentingnya nilai kehidupan dengan mencintai diri sendiri. Mengajak tuk refleksi diri.
Trima kasih Pater… Semoga menjadi diri sendiri mengikis kepalsuan dunia….
Terima kasih pater atas pencerahan dan selalu ada makna baru dari setiap tulisan
Betuuuullll sekali Pater…sependapat. Terima kasih bny Pater pencerahannya???❤️❤️
Luar biasa refleksi dan sharenya kak Pater…
Smga…. amen
Slm sehat dan tetap semangaaat dr kami b3..
Smga kita semua sl diberi kesehatan dlm lindunganNya….. Amen