“Mewujudkan kemanusiaan baru”. Frase ini kiranya mewakili simpul utama cita-cita perjalanan Pontifical Paus Fransiskus dan ungkapan kasihnya bagi segenap makhluk.
Dalam Anjuran Apostoliknya, Amoris Laetitia, Paus memaknai keluarga sebagai ikon Allah Pencipta, yang juga merupakan sebuah ‘keluarga ilahi’ atau ‘persekutuan kasih’ (communio): Bapa, Putra dan Roh Kudus (AL 11). Paus menggunakan kata ‘kelembutan’ (tenderness) untuk melukiskan rangkulan kasih Allah kepada manusia, ibarat pelukan lembut seorang ibu kepada bayi (bdk. Mzm 131). Analogi antara keluarga manusia dan keluarga ilahi (Trinitas) itu mengungkapkan bahwa Allah menyatakan Sabda-Nya dalam keluarga agar mereka menampilkan persekutuan ilahi (AL 29-30).
Dengan jelas dikatakan bahwa persekutuan keluarga merupakan ikon communio Trinitas (AL 63). Bentuk asali dari hidup berkeluarga adalah kasih tanpa pamrih Allah / caritas (AL 70-71). Jadi perkawinan Kristiani merupakan tandayang menghadirkan kasih Allah (AL 73-74).
Pemeliharaan hidup keluarga terjadi dalam hidup sehari-hari, bukan sesuatu yang bersifat aksidental; dan itu terbentuk melalui sikap konkret (AL 89-90). Sukacita kasih keluarga hendaknya terungkap dalam tindakan nyata, “dialami dari hari ke hari”. Sukacita sehari-hari itu hendaknya diupayakan pertama-tama oleh “para suami istri sendiri”, bukan pihak lain.
Kecintaan Paus akan kehidupan juga ditunjukkan dalam sikapnya terhadap kaum disabilitas. Dalam sebuah Audiensi bagi peserta Perayaan 50 tahun “Deaf Catholic Youth Initiative of the Americas”, ia berkata: “Tuhan menyiapkan tempat istimewa dalam hati-Nya bagi setiap orang yang memiliki ketidakmampuan, termasuk bagi Penerus Santo Petrus”. Pada 9 April 2016, di laman Twitternya tertulis: “Para penyandang disabilitas adalah sebuah hadiah bagi keluarga dan sebuah kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih, untuk saling menolong dan bersatu”.
Dalam khotbahnya pada Ekaristi Tahun Kerahiman untuk orang sakit dan disabilitas, 12 Juni 2016, Paus menegaskan bahwa dunia tidak menjadi lebih baik hanya karena tampilan-tampilan yang sempurna, tetapi karena solidaritas, saling menerima dan saling hormat antara manusia.

Penghargaan terhadap kehidupan dalam cakupan yang lebih luas tampak dalam anjuran Apostolik Paus Fransiskus, Sukacita Injil. Anjuran ini memuat ajakan untuk memperluas jangkauan warta gembira kehidupan yang bersumber pada karahiman Allah. Sukacita Injil hendaknya mewarnai hidup Gereja dan Dunia, jadi bukan urusan masing-masing individu. Pertanyaan dasar yang hendak dijawab dalam Anjuran Apostolik ini ialah “di mana saudaramu”? (EG 211).
Sukacita Injil hendaknya dapat dirasakan dalam komunitas manusia. Kita tidak dapat berbicara tentang keselamatan sebagai urusan pribadi, sebab keselamatan itu datang dari kerahiman Allah yang cuma-cuma. Mewujudkan keselamatan berarti menjadikan hidup sosial sebagai tempat damai, persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan (EG 180). Dalam hal ini peran Gereja ibarat rumah sakit di medan perang: Hendaknya Gereja tidak tinggal dalam kenyamanannya sendiri. Ia harus keluar menjumpai mereka yang membutuhkan uluran tangannya (EG 182).
Dalam konteks seruan itu, perlu lah sikap kritis terhadap sistem industri dan perekonomian modern yang oleh Paus disebut “ekonomi pengucilan dan ketidaksetaraan”, karena hanya mementingkan “hukum kompetisi… di mana yang kuat menguasi yang lemah. Dalam sitem ekonomi pengucilan ini, “manusia sendiri dipandang sebagai barang konsumsi yang bisa dipakai dan kemudian dibuang” (EG 53).
Seruan akan keadilan mengandaikan cara pandang lebih luas terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi:“Pertumbuhan dalam keadilan memerlukan lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomis, meskipun mengandaikannya. Pertumbuhan dalam keadilan membutuhkan keputusan-keputusan, program-program, mekanisme-mekanisme, serta proses-proses yang memacu pemerataan pendapatan yang lebih baik, penciptaan kesempatan kerja dan kemajuan seutuhnya orang-orang miskin yang melebihi pemberian bantuan belaka” (EG 204).
Ensiklik Laudato Sí menunjuk dengan jelas kenyataan bahwa krisis ekologi adalah krisis kemanusiaan. Paus mengungkapkan keprihatianannya akan krisis ekologi dan mendesak upaya pembaruan cara manusia memperlakukan ibu – saudari bumi. Paus meyakini bahwa pemulihan krisis ekologi mengandaikan pertobatan manusia secara terus-menerus. Untuk mengubah dunia, orang harus pertama-tama mengubah dirinya sendiri.

Pertobatan ekologis itu mendesak, sebab tanpa kekayaan bumi, manusia tak berdaya. Dengan memaknai tata ciptaan sebagai “rumah kita bersama” (LS 1), kita diajak untuk menyadari elemen-elemen kehidupan secara konkret: tanah, air, udara, dan energi. Terinspirasi oleh Fransiskus Assisi, Paus menyebut elemen-elemen alam semesta sebagai ‘saudari dan saudara’.
Etika kehidupan Paus Fransiskus kiranya dapat dirangkum demikian: “Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi terutama umat manusia harus berubah. Yang dibutuhkan ialah kesadaran asal kita bersama, akan hal saling memiliki, dan akan suatu masa depan untuk dibagi dengan semua. Kesadaran mendasar ini akan memungkinkan pembangunan keyakinan, sikap dan bentuk kehidupan yang baru. Jadi, kita berhadapan dengan suatu tantangan budaya, spiritual dan pendidikan yang besar, yang akan meminta proses-proses pembaruan yang panjang” (LS 202).