Melalui beberapa tulisan maupun ucapan doanya, Santo Fransiskus Assisi (1181/2-1226) memuliakan Allah sebagai satu-satunya Kebaikan yang sempurna (Summum Bonum), asal-muasal segala karunia, hikmat dan kebijaksanaan yang didambakan umat manusia.
Dalam seruan doa-doanya Fransiskus memeditasikan terutama kodrat baik Allah. Baginya Allah itu Kebaikan paling luhur, asal segala yang baik, dan kebaikan-Nya tiada badingnya. Karena itu tanpa Allah, tak ada sesuatupun yang baik (Urbap. 2). Ia memuliakan Allah sebagai sumber segala kebaikan, yang paling baik, seluruhnya baik, satu-satunya yang baik (bdk PujIb. 11; bdk PujAllah. 3). Sebagai kebaikan paling luhur, Allah satu-satunya yang memang pantas menerima segala pujian, hormat dan kemuliaan.
Sebagai kebaikan paling luhur, Allah telah mengaruniakan rahmat, hikmat dan keutamaan suci melalui Roh-Nya kepada manusia (SalMar.6). Roh Kudus itu identik dengan kebaikan Allah. Sebab itu menerima kebaikan Allah berarti memiliki Roh-Nya. Maka Fransiskus menghendaki agar para pengikutnya selalu berusaha “memiliki Roh Tuhan melampaui segala-galanya dan membiarkan Dia berkarya di dalam diri mereka” (AngBul. X: 8).
Kepada para pengikutnya serta orang Kristen lainnya ia juga mengingatkan bahwa karunia-karunia Roh atau kebajikan-kebajikan hendaknya digunakan tanpa memegahkan diri atau menjadi sombong. Apa yang merupakan karunia hendaknya dibagikan sebagai karunia pula; sesuatu yang merupakan pemberian gratis dari Allah hendaknya dibagikan dengan cuma-cuma pula kepada sesama.
Lebih lanjut Fransiskus memberi petunjuk untuk menguji, apakah seseorang benar-benar memiliki Roh Tuhan yang otentik. Caranya sederhana: Jika benar-benar memiliki hikmat Roh Tuhan, “orang tidak memegahkan diri karenanya”, melainkan tetap bersikap rendah hati sebagai “seorang hamba Allah yang hina dan rendah” (Pth. XII).
Jika karunia-karunia Roh yang kita miliki adalah semata-mata pemberian atau hadiah dari kebaikan Allah, maka perbedaan karunia Roh, keutamaan, bakat dan kemampuan, termasuk keberagaman suku dan agama dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat hendaknya tidak menimbulkan persaingan atau cemburu.
Orang yang sungguh memiliki hikmat dari Roh Tuhan mampu mengembangkan karunia yang diterimanya tanpa memegahkan diri atau mencari pengakuan orang lain. Tentang keberagaman karunia atau keutamaan, Fransiskus memberikan kata-kata nasihat yang tajam: “Siapa memiliki salah satu dan tidak melanggar yang lainnya, ia memiliki semuanya. Siapa melanggar salah satu, ia tidak memiliki satu pun dan melanggar semuanya” (SalKeut. 6-7).
Karunia-karunia Roh tidak bertentangan satu sama lain. Tidak ada pula persaingan antara mereka; semuanya mengalir dari dan dipersatukan oleh satu sumber, yaitu kasih Allah. Dengan kata lain, memiliki hikmat dari Roh Tuhan sebagai pemberian cuma-cuma tetapi suka cemburu dan bersaing adalah sebuah kontradiksi dalam diri kita.
Oleh sebab itu Fransiskus merefleksikan bahwa orang yang sungguh dipengaruhi Roh Tuhan, tidak menjadi cemburu, melainkan turut bergembira, bahkan dengan rasa gembira yang lebih besar, atas karunia atau hikmat yang Tuhan berikan kepada sesama. “Berbahagialah hamba, yang tidak lebih bermegah-megah atas kebaikan yang diucapkan dan dikerjakan Tuhan dengan perantaraannya sendiri, daripada atas apa yang diucapkan dan yang dikerjakan Tuhan dengan perantaraan orang lain” (Pth. XVII).
Oleh pengaruh daya Roh Tuhan orang memiliki kualitas tertentu dalam dirinya: Adapun “hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik” (Yak 3:17).
Pesan yang hendak disampaikan ialah bahwa ketika setiap orang menggunakan karunia yang diberikan Tuhan kepadanya dengan baik, karunia itu akan memberi kekayaan bagi persekutuan, komunitas atau keluarga di mana ia berada. Sikap dasar yang diandaikan ialah kemampuan untuk bersyukur. Orang yang hidup penuh syukur, merasa puas atas kebaikan yang telah diterima, tahu membatasi keinginan sendiri, sehingga tidak menuntut lebih.
Dalam rasa syukur orang terdorong untuk berbagi dan bekerja sama. Misalnya dalam komunitas masyarakat, paroki ataupun Gereja. Bagi orang yang mampu bersyukur, jalan untuk bersikap adil pun terbuka. Sebaliknya ketika orang kurang atau tidak bersyukur, ia cenderung menjadi egois, mengutamakan kepentingan diri, lebih banyak menuntut dan mengkritik. Orang yang banyak menuntut, enggan bertindak adil, mudah terjerumus dalam godaan korupsi.
Sikap bijak dalam menggunakan karunia Allah terletak pada kesediaan melawan egoisme yang merupakan akar dosa: “Orang tidak akan menemukan kepenuhan rahmat kecuali jika ia melawan dan melampaui dirinya agar dapat mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu dan mengasihi sesama seperti dirinya sendiri. Orang mampu bertindak sungguh-sungguh adil ketika ia berusaha keluar dari egoismenya. Sebab egoisme adalah musuh diri. Melawan egoisme berarti keluar dari belenggu diri” (St. Bonaventura).
Bersama Fransiskus Assisi kita memohon agar upaya menghidupi dan mengembangkan karunia-karunia Roh, tidak hanya mendatangkan berkat bagi kita sendiri, tetapi bagi semua orang yang membutuhkannya.
Sang Santo dari Assisi pun menjanjikan karunia Roh kepada kaum beriman yang tekun dan setia menjalankan keutamaan kristiani untuk mencari hikmat-kebijaksanaan: “Semua orang, laki-laki dan perempuan, apabila mereka melakukan hal-hal itu dan bertekun hingga akhir, maka Roh Tuhan akan tinggal pada mereka dan akan memasang tempat tinggal dan kediaman di dalam mereka” (2SurBerim. 48).
“Siapa memiliki salah satu dan tidak melanggar yang lainnya, ia memiliki semuanya. Siapa melanggar salah satu, ia tidak memiliki satu pun dan melanggar semuanya”
Ya Tuhan,,,,, semoga di sisa waktu ini aku bisa mendapatkan satu saja hikmat dariMu dan jagalah saya untuk tidak melanggar yang lain. Amin
St. Francis of Assisi pray for us. Gracias Padre